Banyak cerita tentang Kyai Tunggul Wulung dengan berbagai versi. Namun
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah kisah Kyai Tunggul Wulung, si
penjaga kawah Gunung Kelud yang ditugaskan untuk mengarahkan lava Kelud agar tidak memakan banyak korban. Menurut
Babad Kediri, Raja Jayabaya yang memerintahkan kerajaan kediri
mempunyai dua abdi bernama Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai Daha dijadikan
patih yang taat berganti nama menjadi Buta Locaya, sementara Kyai Daka
dijadikan senopati perang, dengan nama Tunggul Wulung.
Saat Raja
Jayabaya muksa, keduanya juga ikut muksa. Buta Locaya ditugaskan untuk
menjaga Selabale (gua Selomangleng), sedangkan Tunggul Wulung
diperintahkan untuk menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak
banyak merusak desa sekitar, dan memakan banyak korban jiwa. Konon,
nantinya Raja Jayabaya akan datang kembali, dan tugas Tunggul Wulung
adalah mempersiapkan kedatangan sang raja yang telah muksa.
Menurut
buku berbahasa Jawa klasik berjudul, Goenoeng Keloed, karya R.
Kartawibawa, terbitan Badan Penerbitan G Kolff & Co tahun 1941,
sosok Kyai Tunggul Wulung tidak jauh beda seperti yang dijelaskan dalam
Babad Kediri, yakni orang asli Kediri yang merupakan abdi Raja Jayabaya.
Dia ditugaskan untuk menjaga Gunung Kelud agar bersahabat dengan
manusia dan alas di sekitarnya. "Kyai Tunggul Wulung ini tidak
mengganggu manusia. Malah justru melindungi jika ada marabahaya, supaya
orang selamat jika tersesat misalnya," demikian tertulis di halaman 18
buku terbitan tahun 1941 tersebut.
Dijelaskan dalam buku itu,
tempat bersemayam Kyai Tunggu Wulung berada di lereng Kelud bagian timur
laut, dekat dengan kawah. Konon daerah tersebut sangat wingit. Banyak
orang kerasukan dan menjumpai hal-hal gaib yang tak masuk akal. "Misalnya
jika Kyai Tunggul Wulung tidak berkenan saat ada orang yang masuk ke
daerahnya, maka tiba-tiba akan terdengar suara gemuruh di bagian barat
Kelud, tak lama kemudian akan muncul hujan badai, suasana jadi gelap gulita seperti malam," demikian ditulis di halaman 18.
Bagi orang yang 'mengerti', agar tidak menemui mara
bahaya saat hendak masuk ke Gunung Kelud, terlebih dahulu mereka
membakar kemenyan, berharap tidak diganggu oleh Kyai Tunggul Wulung.
Dalam
buku tersebut juga dijelaskan, untuk menghindari bahaya saat Gunung
Kelud meletus, orang zaman dulu menutup rapat-rapat pintu rumahnya,
kemudian orang-orang mengamankan diri dengan memanjat pohon rangon.
Sehingga, lava, air, pasir, lumpur, bebatuan yang mengalir deras dari puncak Kelud tidak mengenai mereka, dan nyawa pun selamat.
Sumber: merdeka.com
Friday, 21 February 2014
Kisah Kyai Tunggul Wulung, Si Penjaga Kawah Gunung Kelud
Eko Sutrisno | Friday, 21 February 2014
No comments:
Post a Comment