Saat jantung berhenti berdenyut dan darah berhenti mengalir, maka
bagian tubuh lainnya perlahan-lahan juga akan berhenti berfungsi. Namun
sebuah penelitian terbaru menyimpulkan bahwa pemahaman seperti itu
mungkin keliru. Tim ilmuwan yang dipimpin Jimo Borjigin, ahli saraf di University of
Michigan Medical School, Ann Arbor, Amerika Serikat, meneliti aktivitas
jantung dan otak seekor tikus laboratorium. Penelitian dilakukan
beberapa saat sebelum binatang itu mati karena kehabisan oksigen. Sebelum mati, otak tikus mengirim sinyal berlebihan ke jantung yang
pada akhirnya menghancurkan organ itu. Namun saat tim ilmuwan
menghalangi sinyal-sinyal tersebut, jantung tikus itu tetap berdenyut
untuk beberapa lama.
Jika proses yang sama terjadi pada manusia, maka kemungkinan bisa
membantu memperpanjang usia manusia setelah jantungnya berhenti
berdenyut dengan memotong 'badai' sinyal yang datang dari otak.
"Orang-orang biasanya hanya fokus pada jantung, berpikir bahwa dengan
menyelamatkan jantung, maka juga menyelamatkan otak," kata Borjigin
dikutip Dream dari Livescience. Namun timnya menemukan sesuatu yang mengejutkan. "Anda harus memutuskan (komunikasi kimia) antara otak dan jantung.
Penemuan ini memang bertentangan dengan hampir semua praktik
kegawatdaruratan dunia medis mana pun," katanya.
Para peneliti sering dibingungkan dengan pertanyaan, mengapa jantung
orang yang sebelumnya sehat tiba-tiba berhenti berfungsi, setelah hanya
beberapa menit tanpa oksigen. Ternyata bahwa ketika seseorang terkena serangan jantung, kehilangan
kesadaran dan tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, otaknya masih
terus aktif. Pada penelitian sebelumnya di 2013, Borjigin dan timnya menemukan
bahwa saat jantung sedang sekarat, otak membanjirinya dengan sinyal.
Mungkin otak berusaha untuk menyelamatkan jantung.
Pada tikus, saat jantung dan otak berada dalam kodisi sinkron, tim
peneliti melihat ada lebih dari selusin zat kimia saraf mengalir dari
otak ke jantung.
Aktivitas otak dan jantung tetap sinkron sampai jantung mengalami
keadaan yang disebut fibrilasi ventrikel, di mana ruang bawah jantung
hanya bergetar tidak kontraksi dengan benar. Hal ini menyebabkan jantung
tidak bisa lagi memompa darah keluar. Tapi ketika tim peneliti memblokir aliran zat kimia dari otak ke
jantung, dengan memotong sumsum tulang belakang tikus, jantung tidak
mengalami fibrilasi ventrikel. Akibatnya, tikus bertahan selama tiga
kali lebih lama dari tikus yang koneksi jantung dan otaknya dibiarkan
apa adanya.
"Tentu saja, semua penelitian ini dilakukan pada tikus. Apakah tubuh
manusia akan bereaksi sama, itu menjadi pertanyaan bernilai jutaan
dolar," kata Borjigin.
Jika peneliti dapat menemukan cara untuk 'memutuskan' hubungan antara
otak dan jantung menggunakan obat (bukan dengan benar-benar memutuskan
sumsum tulang belakang), maka kemungkinan bisa menjadi alternatif bagi
mereka yang mengalami serangan jantung.
Sumber: dream.co.id
No comments:
Post a Comment