Hari masih pagi di Singapura. Namun di sebuah stasiun kereta listrik (mass rapid transit)
sudah gaduh dan sibuk. Ratusan pekerja dan pelajar tampak bergegas. Di
antara mereka yang bergegas, terselip seorang pria berumur 67 tahun.
Perawakannya kurus. Rambutnya disisir rapi ke samping. Uban tampak
menghias kedua sisi rambutnya. Sebuah kacamata baca terselip di
wajahnya.
Ia tampak ikut antre di jalur antrean untuk masuk ke
kereta. Di usianya yang tak lagi muda, dia tak lagi cekatan. Akibatnya,
saat kereta datang, dia tak kebagian tempat duduk. Ia pun terpaksa
berdiri. Sebuah tas jinjing hitam menempel di bahu. Lumayan lama ia
berdiri. Tapi raut wajahnya tampak sabar.
Di stasiun Rafles Place, lelaki tua itu turun. Lalu berjalan 20 menit menuju kantornya yang megah di Robinson Road.
Kantornya
di Robinson Road itu adalah perusahaan investasi terbesar milik
pemerintah Singapura. Namanya the Government of Singapore Investment
Corporation (GIC). Lelaki itu adalah Chief Executive Officer (CEO) perusahaan itu, perusahaan dengan total aset US$ 330 miliar atau sekitar Rp 3.916 triliun. Namanya Lim Siong Guan.
Lim Siong Guan sehari-hari memang naik mass rapid transit
(MRT) saat berangkat kerja. Punya jabatan penting di perusahan besar
dengan total aset ribuan triliun rupiah itu, tak membuat Lim Siong Guan
doyan bergaya hidup mewah.
Kesederhanaan Lim ini terkenal tidak hanya di Singapura. Tetapi sudah menyebar hingga ke seluruh pelosok dunia.
Jika
ia membutuhkan perangko, dia akan membelinya sendiri tanpa menyuruh
sekretarisnya. Dia tidak segan melakukan hal kecil yang biasa orang lain
lakukan.
Pada perjalanan bisnis yang dilakukannya tahun 2007 ke
beberapa negara dalam rangkaian kunjungan kantor GIC di San Francisco,
New York, London, Singapura, dan 4 hari di Asia, Mumbai, Tokyo, Seoul,
Beijing, Shanghai, dia tidak memesan kamar hotel.
Dia bahkan rela beristirahat dan tidur hanya di pesawat. Ia mandi di toilet kantor cabang GIC yang ia kunjungi.
Ia juga menolak pemberian fasilitas mobil limusin dari perusahaan, dan tetap bersikeras untuk menggunakan transportasi umum.
Lim
merupakan mantan Kepala Pegawai Negeri Singapura. Dia juga sempat
menjabat sebagai sekretaris di Kementerian Pertahanan, Pendidikan dan
Keuangan, serta di Kantor Perdana Menteri.
Dia hanya memiliki sebuah Volvo S60. Sebuah mobil tua sederhana yang jauh sekali jika dibandingkan dengan mobil para rekannya.
Dia
juga bukan tipe bos yang menghabiskan waktu di kantor yang nyaman. Dia
menghabiskan waktunya untuk melakukan perubahan organisasi. Ke mana saja
dia pergi, dia membakar semangat revolusi mini kepada semua orang.
Teh Kok Peng, mantan CEO GIC, menilai sosok Lim sebagai 'Superman' karena energi dan semangatnya yang tinggi.
"Di
kantor, beberapa memanggilnya Superman karena kelurusan niatnya. Dia
banyak menuntut banyak dari orang sehingga dia pun menuntut dirinya
untuk bertindak lebih banyak dari orang lain," ujar Peng seperti dikutip
dari Strait Times.
Lim selalu mengatakan "Apakah kita
siap untuk masa depan?" Pertanyaan ini membuat para stafnya, bahkan para
menteri, untuk berpikir keras dan strategis.
Dia juga dikenal
sebagai salah seorang yang teguh pendirian karena kecerdasannya. Sebagai
bos yang pernah membawahi pegawai negeri di Singapura, dia selalu
bertanya kepada mereka, "Bagaimana saya bisa membantu Anda agar bisa
bekerja lebih baik?"
Lelaki kurus yang kini berusia 67 tahun itu
pun bercerita bahwa dia selalu turun tangan untuk membantu orang lain
dan hidup sederhana. Lim menilai sesuatu pekerjaan yang biasa dilakukan
orang tidak ada salahnya dia lakukan sendiri.
***
Lim
memang berasal dari keluarga sederhana. Dia anak tertua dari seorang
ayah yang berprofesi sebagai supir taksi dan ibu yang berprofesi sebagai
guru.
Semasa kecilnya, dia hanya mendapatkan 2 helai baju baru
tiap tahun, yaitu setiap Tahun Baru China dan Natal. Dia tinggal di
rumah sewa bersama 20 keluarga lain.
Walau hidup sederhana, ayah
ibunya selalu memberikan semangat kepada dirinya dan ketiga adiknya.
Meski mengalami kegagalan setelah berjuang semaksimal mungkin, orang tua
Lim tetap mengapresiasi segala upaya anak-anaknya.
"Tim yang
kalah harus dibawa ke McDonald dan didorong turun ke lapangan lagi pekan
depan," ujar Lim mengenang perkataan orang tuanya.
Lim juga diajarkan untuk menghargai semua orang. Bahkan, ibunya, menjalin hubungan baik dengan ras Melayu di Singapura.
Lim
bukanlah tipe orang yang melupakan masa lalu. Dia menilai kita harus
mengambil nilai-nilai yang didapat dari masa lalu karena itu yang
membawa kita pada kondisi saat ini. Dan, memastikan tidak kehilangan
nilai positifnya, untuk menentukan langkah kita untuk masa depan.
Tidak
hanya itu, Lim juga selalu mengingat jasa-jasa orang kepada dirinya.
Dia melihat Direktur Pelaksana EDB Yeoh Keat Chuan sebagai orang paling
berpengaruh dalam hidupnya.
"Dia selalu bersedia untuk memberikan
waktu pribadinya untuk membantu orang lain meskipun aku tahu waktunya
itu mahal karena dia ingin menghabiskannya bersama cucu-cucunya," kenang
Lim.
Lim peka pada integritas, dan dia yakin warga Singapura
memliki nilai ini. Dia melakukan transformasi pada organisasi pegawai
negeri ini.
"Seorang pemimpin yang baik adalah orang hampir tidak
diketahui keberadaannya. Tetapi begitu tujuannya tercapai, dia
mengatakan "kami berhasil melakukannya"," ujarnya.
***
Lim
menganyam pendidikan di sekolah Anglo-Chinese, Singapura. Ia
dianugerahi Beasiswa Presiden untuk belajar di University of Adelaide,
Australia, di mana ia lulus dengan First Class Honours di Teknik Mesin
pada tahun 1969. Dia meraih gelar Diploma Pascasarjana Administrasi
Bisnis dari National University of Singapore pada tahun 1975.
Sesudah itu dia berkarir di pemerintahan Singapura. Beberapa jabatan penting dan strategis pernah didudukinya.
Awal
mula karirnya, Lim diangkat sebagai Kepala Dinas Sipil Singapura dari
September 1999 sampai Maret 2005. Ia adalah Sekretaris Tetap Kementerian
Pertahanan dari Juli 1981 sampai Mei 1994, Sekretaris Tetap di Kantor
Perdana Menteri dari Juni 1994 sampai Juli 1998, Sekretaris Tetap
Kementerian Pendidikan dari April 1997 hingga Juni 1999, dan Sekretaris
Tetap Kementerian Keuangan sekal Juni 1999 sampai September 2006.
Dia
juga pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah pertama Sekretaris Pribadi
mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew dari Mei 1978 sampai Juni 1981.
Dia
pernah menjadi Ketua Central Provident Fund Dewan 1986-1994 dan Wakil
Ketua Dewan Komisaris Mata Uang (sekarang masuk Otoritas Moneter
Singapura) dari tahun 1999 sampai 2002. Dia pernah menjadi Anggota Dewan
Otoritas Moneter Singapura 1999-2006.
Pada tahun 2005, Lim Siong
Guan, menjadi salah satu dari 3 anggota Komite Pemilihan Presiden yang
mengaji kualifikasi Sellapan Ramanathan , yang kemudian terpilih menjadi
Presiden Singapura dalam Pemilihan Presiden tahun 2005.
Selain berkarir di pemerintahan, ia juga telah menempati posisi penting di perusahaan swasta terkenal Negeri Singa.
Ia
pernah menjadi Direktur Temasek Holdings Pte. Ltd. Direktur DBS Bank
Ltd. Direktur Neptune Orient Lines Ltd. Ketua atau Direktur sejumlah
perusahaan yang sekarang menjadi bagian dari kelompok perusahaan
Singapore Technologies Engineering.
Ia pertama kali diangkat
Group Managing Director of Government of Singapore Investment
Corporation (GIC) pada 22 September 2007.
Lim kemudian diangkat
menjadi Presiden Government of Singapore Investment Corporation (GIC)
pada 1 Juli 2009. Tugasnya adalah mengawasi tiga unit bidang investasi,
yaitu GIC Real Estate, GIC Asset Management dan GIC Special Investment.
Usaha GIC yang beraset ribuan triliun rupiah itu tersebar di seantero
dunia.
Walau pernah menduduki jabatan strategis di pemerintahan
dan kini menjadi bos perusahaan investasi super kaya, anak sopir taksi
ini memilih tetap hidup sederhana.
Maka, jika anda tengah ke
Singapura, pergilah ke stasiun Raffles Place. Pada hari kerja, di pagi
hari, jangan kaget jika anda bertemu seorang pria kurus beruban tengah
menjinjing tas hitam, turun dari MRT yang sesak. Dia adalah Lim Siong
Guan. Manusia sederhana dari Singapura….(eh)
Sumber: dream.co.id
Monday, 8 December 2014
Kesederhanaan Lim Siong Guan, CEO Beraset Rp 3.916 Triliun
Eko Sutrisno | Monday, 8 December 2014
No comments:
Post a Comment