Pertemuan di kediaman Soemitro Djojohadikusumo, Jalan Kertanegara,
Jakarta Selatan itu melegakan banyak pihak. Ketua Umum Partai Gerindra
menyambut ramah kedatangan presiden terpilih Joko Widodo. Saat pemilihan presiden lalu, semua masih ingat bagaimana persaingan keduanya membuat panas tensi politik nasional. Tapi pertemuan Jumat (17/10) seolah menghapus semua kenangan persaingan di antara keduanya.
Prabowo memberikan hormat ala militer dan Jokowi membungkukkan badannya. Keduanya lalu berangkulan dan saling menempelkan pipi.
Kisah pertemuan Prabowo dan Jokowi ini serupa dengan pertemuan Presiden Soekarno dan Jenderal Soedirman. Kedua pemimpin besar ini sempat berbeda pendapat saat menghadapi agresi militer Belanda 18 Desember 1948.
Menit-menit saat negara genting akibat serangan Belanda, Panglima TNI Jenderal Soedirman menemui Presiden Soekarno .
Soedirman
meminta Soekarno ikut gerilya, sementara Soekarno bersikeras tetap
tinggal untuk selanjutnya berjuang melalui jalan diplomasi. Soedirman
berpendapat Belanda sudah ingkar janji, tak ada gunanya diplomasi.
Sementara Soekarno yakin hanya dengan jalan diplomasi Indonesia bisa mendapat dukungan internasional guna menekan Belanda.
Pimpinan sipil dan militer bertolak belakang.
Soekarno-Hatta
segera ditangkap oleh pasukan baret hijau Belanda sementara Soedirman
memimpin perlawanan dari atas tandu, karena sakit paru-paru.
Jenderal
Soedirman kecewa dengan keputusan Soekarno-Hatta yang memilih menyerah
daripada ikut gerilya. Dengan tabah TNI melakukan perang gerilya melawan
Belanda.
Soedirman pun tak percaya dengan perundingan
Roem-Roijen yang ditandatangani 7 Mei 1949 oleh delegasi Republik
Indonesia dan Belanda.
Dia tersinggung saat Mohammad Roem sebagai
ketua delegasi Republik, tak lagi menyebut TNI melainkan hanya
'kesatuan bersenjata atau pengikut Republik yang bersenjata'.
Soedirman
marah. Buat apa TNI terus bergerilya membuktikan Republik Indonesia dan
TNI masih ada, kalau dengan mudah pemerintah tak mengakui mereka?
Bukankah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 telah membuktikan kepada dunia
bahwa TNI masih ada dan terorganisir, bukan hanya perampok bersenjata
seperti tuduhan Belanda?
Menyebut pengikut bersenjata berarti
mendukung propaganda Belanda yang menyebut TNI sudah hancur dan tinggal
menyisakan gerombolan bersenjata yang sudah tak teratur.
TNI
merasa dikorbankan untuk kepentingan politik. Mereka yakin ini hanya
akal-akalan Belanda. Apalagi hasil perundingan Roem-Roijen menyebutkan
TNI harus menghentikan aktivitas gerilya.
TNI merasa posisi
Belanda sudah terjepit. Keputusan ini jelas merugikan TNI. Sudah menjadi
kebiasaan Belanda minta berunding jika sudah terdesak. Lalu jika sudah
menyusun kekuatan mereka akan menyerang kembali.
Bukankah sudah dua kali Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dan Renville? TNI tak mau dibodohi untuk ketiga kalinya.
Pertentangan Soekarno dan Soedirman makin tajam.
Soekarno
sampai menulis surat pribadi dengan nada penuh hormat pada Jenderal
Soedirman. Menyebut Soedirman dengan panggilan yang mulia dan meminta
Soedirman turun dari hutan dan kembali ke Yogya. Surat itu kemudian
diantarkan oleh Overste Soeharto.
Walau berat hati Soedirman
akhirnya kembali ke Yogyakarta. Pimpinan militer harus tunduk pada
keputusan presidennya. Dia memenuhi panggilan Presiden Soekarno tanggal
10 Juli 1949.
Pertentangan terjadi, apakah langsung memeriksa
barisan kehormatan, atau ke istana menemui Presiden Soekarno dan Wapres
Mohammad Hatta yang sudah dibebaskan Belanda.
Kolonel TB
Simatupang yang punya ide meminta Soedirman lebih dulu mampir ke istana.
Momen ini penting artinya, pertemuan keduanya seakan menghapus
perbedaan pendapat antara pemimpin sipil dan militer. Jika tak menemui
Soekarno, tentu rakyat akan bertanya-tanya.
Soedirman cukup lama terdiam. Lalu akhirnya mengangguk setuju.
"Saya
segera lari ke istana memberi tahu bahwa sore hari nanti Pak Dirman
ingin menghadap Presiden dan Wakil Presiden," kenang Simatupang.
Pertemuan
itu sangat mengharukan. Di depan istana Presiden Yogyakarta, Soekarno
merangkul Soedirman yang bermantel lusuh. Soekarno sempat mengulangi
pelukannya karena saat pelukan pertama tidak ada yang memotret momen
itu. Mata keduanya berkaca-kaca haru.
Inilah pertemuan pertama
mereka sejak terakhir bertemu 19 Desember 1949 lalu. Setelah melapor,
Soekarno-Hatta menanyakan kabar Soedirman. Percakapan berlangsung dengan
hangat.
Baru setelah itu Soedirman memeriksa barisan kehormatan
TNI yang sudah menunggunya. Pasukan TNI dengan seragam dan senjata
seadanya berbaris rapi di depan panglima mereka.
Kali ini giliran mereka yang menangis haru melihat Soedirman dengan mantel lusuhnya.
Pelukan Bung Karno dan sikap legowo Pak Dirman mengakhiri pertentangan sipil dan militer.
Sumber: merdeka.com
Sunday, 19 October 2014
Prabowo-Jokowi & Kisah Pelukan Soekarno Pada Jenderal Soedirman
Eko Sutrisno | Sunday, 19 October 2014
No comments:
Post a Comment