Sewaktu masih kecil, Harun Sapto sudah dititipkan ke Malang dari
Blitar, dari rumah orangtuanya ke rumah pamannya. Di rumah pamannya itu,
dia mendapat perlakuan yang kasar dari tantenya. “Saya mulai ada
kekecewaan, suka nangis, suka murung,” cerita Sapto saat itu.
Kelas 2 SD Sapto dibawa kembali oleh orangtuanya ke Jakarta. Di sana,
dia suka berantem. Jika Sapto pulang ke rumah dengan baju yang kotor,
ibunya akan marah-marah. Nasi satu butir jatuh di lantai, dia juga kena
marah. Tidak tidur siang, dia akan dipukul.
Kebalikannya, papanya baik. Namun sayangnya, Sapto jarang bertemu
dengan bapaknya karena kesibukannya. Lain lagi dengan kakaknya. Kakaknya
pernah mengatakan, “Sapto, mengapa sih kamu pulang lagi?” Kakaknya
menyalahkan Sapto karena mereka sudah tidak punya mobil lagi,
seolah-olah Saptolah penyebab hilangnya mobil tersebut dan juga
keruwetan lain yang dialami keluarga mereka.
Sapto yang dewasa, punya tato di badannya dan seringkali memakai baju
lengan buntung. Tidak hanya itu, dia menjadi preman yang suka memalaki
para pedagang, kekerasan memenuhi hidupnya.
Suatu hari, dia diberitahu bahwa papanya meninggal. Karena itu, dia
menganggap semua orang yang dia sayangi sudah tidak ada lagi sehingga
dia makin brutal.
Pada suatu hari jam 7 malam di Menteng, dia dikejar oleh sekelompok
orang yang ingin membunuhnya. Dia lari dan lari dan masuk ke
gorong-gorong. Di sana dia berdoa dan begitu dia bangun dari
gorong-gorong, dia melihat tidak ada orang lagi.
Dia mencoba nasib lain. Dia bekerja di kapal. Namun di sana,
kerjaannya hanya minum dan minum saja. Di pelabuhan, ada orang yang
menitip sesuatu kepadanya untuk dikirimkan ke Jayapura. Dia pun mendapat
upah Rp 8 juta. Sayangnya, dia tidak melihat barang apa yang dititipkan
itu.
Besoknya, dia berlabuh di Surabaya. Di sana, dia dipanggil pihak
keamanan yang marah karena barang titipannya tergeletak di mana-mana.
Barang yang diperkirakan sebanyak 2 ton itupun coba dikumpulkan Sapto.
Dia mengajak semua orang yang lewat untuk memindahkan barang-barang
tersebut tapi tidak ada yang mau membantunya. Dia putus asa,
barang-barang itu dibuangnya ke laut.
Sesampainya di Jayapura, Sapto dicari orang-orang yang seharusnya
mendapatkan barang tersebut. Dia pikir saat itu dirinya akan dibunuh,
dia pun berpegangan pada besi yang ada di kapal sambil berpikir bahwa
dirinya memang lebih baik mati.
Di situ juga dia mulai berkata di dalam hatinya, “Kalaupun memang
Tuhan yang saya sembah sekarang ada dan menyelamatkan saya, saya akan
jadi pengikut-Nya.”
Lama tidak ada yang menusuknya, dia pun menengok ke belakang,
ternyata orang-orang itu pergi entah kemana. Pulang ke Jakarta, Sapto
menginap di rumah salah satu kenalannya. Di rumah itu, dia menemukan VCD
yang ternyata merupakan VCD khotbah.
Hamba Tuhan yang berada di VCD itu mengatakan bahwa ada satu anak
muda peminum dan perlu menerima kasih Allah. Hamba Tuhan itupun
membagikan ayat Yohanes 3:16. “Kamu harus bertobat…” kata hamba Tuhan
tersebut sambil menunjuk. Sapto merasa hamba Tuhan itu seperti menunjuk
dirinya langsung, seolah-olah tangannya keluar. Dia pun mematikan VCD
tersebut.
Saat hendak berbaring, Sapto menemukan traktat. Di dalam traktat itu,
kembali ayat itu berbicara. “Saya tidak tahan, saya keluar air mata dan
tidak dapat berhenti.” katanya.
Saat itulah dia putuskan untuk beribadah di suatu tempat ibadah.
Sapto sadar akar dari segala pemberontakannya adalah kebenciannya
kepada keluarganya dan dia pun meminta hamba Tuhan di sana untuk
mendoakannya.
Ketika ibunya masuk ke rumah sakit, Sapto pun meminta maaf. Hubungan
ibu dan anak itu pun dipulihkan. Seminggu kemudian, ibunya dipanggil
Tuhan.
Apa yang Sapto lakukan dulu, sudah dia tinggalkan semua. Dia pun
berubah hidupnya dan berbalik dari jalannya yang jahat. Sekarang dia
mengabdikan hidupnya untuk anak-anak yang terlantar. “Saya selalu
memberikan satu saran yang baik dari Tuhan bahwa hidup itu sangat
berarti kalau kita mau merespon.”
Setiap orang yang dididiknya pun mengakui hal tersebut, begitu pula
tetangganya. Dia beralih dari yang paling buruk menjadi pelayan Tuhan.
“Dia bisa mengubah kita semua, hidup saya dan hidup Anda.” tutup
kesaksian Sapto.
Saturday, 22 June 2013
Home »
Agama Kristen
» Anak Terbuang yang Anggap Dirinya Tak Berharga (Kisah Nyata)
Anak Terbuang yang Anggap Dirinya Tak Berharga (Kisah Nyata)
Eko Sutrisno | Saturday, 22 June 2013
No comments:
Post a Comment