Ini adalah ceritaku dihari Vanlentine. Waktu itu
adalah musim liburan kuliah dan saya memutuskan untuk pulang ke kampung
halaman. Pada tanggal 11 Februari 2012, saya kembali memberikan diri
untuk pulang ke kampung halaman menaiki sepeda motor yang saya miliki.
Perasaan suka duka hidup di Jakarta bercampur aduk, mengisi dan
menggumpal di dalam pikiran. Masih terasa seperti waktu pulang liburan
kemarin. Ah ! hebat nian ban sepeda motor ku ini. Segaris
garis demi garis cat putih pun terlahap dengan cepat nya. Melaju
kencang, antara ekspresi penat dengan rasa suka bercampur. Ku terus
melaju dan melaju hingga tiba di daerah Bekasi. Hebat sekali kota ini.
Tatanan taman yang sempat ku lihat nya membuat hati pikiran lepas
sekejap.
Tak lama aku mengisi bensin. Dengan nada datar
saat giliran tangki besi motor harus di isi aku hanya bilang “Full pak”.
Petugas pom “penuh..??”, “iya, pak”. Setelah tangki besi terisi penuh,
dengan semangat saya kembali memacu kendaraan merah ke jalanan. Hmmm….
Terasa capek memang. Coba anda bayangkan, duduk di atas jok dengan tas
ransel besar yang berada di depan di temani dengan tas hitam kotak yang
berisi laptop. ‘Mengawasi’, fokus pandangan ke depan, berjam-jam menahan
kosentrasi, rasa pegal di pergelangan, serta panas di bagian ‘pantat’.
Hmm…
Kota Bekasi, Karawang, Inderamayu ku lewati. Tanpa
terasa bensin yang membajiri isi tangki pun telah habis. Hingga saat
putaran ke dua untuk mengisi bensin. Kali ini badan sudah terasa pegal,
capek, lelah, dan yang pasti kantuk. Untung saya punya penawar. Coba
apa tebak..? yapz, betul. Penawar itu bentuk nya kecil, mudah di
kantongi dan biasa di jual seharga 50 perak. Permen !
Bensin putaran ke dua sudah hampir habis, tanpa terasa jalur lebar nan
panjang kota Cirebon pun hampir selesai ku telan. Tinggal beberapa kota
yang ‘lebih kecil’ lagi ; Losari, Brebes, Tegal, Pemalang dan kota
tujuan Pekalongan.
Masa bodoh dengan memacu, badan sudah
tidak bisa di ajak kompromi lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk break,
behenti sejenak untuk beristirahat. Hmm… sejuk tenan aliran udara yang
menampar di wajah ku. Di samping sesawahan Cirebon yang luas, terdapat
beberapa angkringan warung yang di bangun dengan bambu pilihan.
Rangkaian bambu yang ‘apik’ dengan sambutan penjual yang hangat, serta
tamparan udara sejuk di tengah panas nya jalan raya, membuat rasa lelah
penat ini sedikit demi sedikit mereda. Angkringan ini menyediakan
beragam jenis minuman dan juga makanan ringan dan dapat anda jumpai di
sepanjang deretan jalan.
Badan sudah mulai agak baikan, ku
putuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali. Detik demi detik, menit
demi menit, hingga angka-angka jam pun berebut dan berlomba menampakkan
dirinya. Ku tekan tombol call dan kulihat handphone hitam jelek bernama
C2-03. Ternyata sudah menunjukkan pukul 12.36 WIB. Sudah sekitar 6 jam
setengah ku berjuang. Kini tinggal hitungan beberapa jam lagi saya harus
melahap jalanan.
Dan akhirnya, “Selamat Jalan Kota
Cirebon”. Hahhh…..lega sangat hati ini. Kota panjang nan luas bak naga
ini pun pun berhasil ku lewati. Dan sekarang tiba di kota Losari. Kota
ini menambah semangat baru yang menempa pori-pori kulit saya. “Ah! Sudah
dekat ini” (pikir ku dalam hati)
Tak lama kemudian aku
sampai di kota Brebes. Yapz ! kota ini mulai melegakkan sumbek nya
perasaan yang ada di pikiran saya. Sempat ku lihat kijang pick up
(terbuka) yang membawa gerombolan bawang merah, teriakan anak-anak di
pinggir jalan, dan juga etalase-etalase toko di pinggir jalan dengan
hiasan bulat berwarna putih agak kebiruannya (telur asin Brebes). Beda
saat berada di Jakarta yang tiap hari hanya memandang pemandangan gedung
dan sekerumuman orang dengan kepentingan nya masing-masing.
“Selamat Datang di Kota Bahari”
Kota Brebes telah habis, kini tiba di kota Tegal. Wahh….tapi
ko jadi lumayan bingung ya saya disini. Hehe jalannya udah mulai agak
lupa.. :D ku lihat sebuah percabangan jalan “Tegal Pelabuhan (arah
kiri)” dan “Tegal Kota (sebelah kanan)”. Ku ambil yang jalan seberang
kanan, karena waktu itu saya berpikir, mau ngapain ke ‘Tegal Pelabuhan’ ?
Agak was-was juga sih memang.
Di kota yang penuh
kenangan ini ku coba lewati dengan hati riang aja, kenapa tidak coba
bayangkan ? ada seorang remaja yang saat ini berusia 21 tahun dan baru
pertama kali menjalani kisah cinta nya. Dia hanya ingin menjaga komitmen
dan tetap setia. Namun sang kekasih pergi menginggalkan nya begitu
saja, bertunangan dengan orang lain dan akhirnya menikah. Hmmmm… tapi
sudahlah ! itu sudah lama, dan gak penting lagi untuk di ceritakan.
Tak lama kemudian, saya hampir sampai di perbatasan
Tegal-Pemalang. Ku sempatkan waktu sejenak untuk mampir di pantai nya
Tegal – Pantai Alam Indah. Hmm…. Sebuah pantai yang tak asing terdengar
di telinga. Pantai wisata dengan pemandangan yang luar biasa ini, mampu
menghilangkan sedikit penat selama perjalanan. Di sini anda dapat
menjumpai seekor ubur-ubur putih yang terlihat indah di sepanjang
pantai. Selain itu, keramahan penjaja makanan dan minuman serta ke
khasan bahasa jawa-Tegal yang ‘unik’ akan memberikan sensasi tersendiri
buat anda. Di tambah lagi tempat nya yang rindang dan sejuk.. hmm…. J
Ku cicipi mie ayam dan sepiring nasi di sini, di temani dengan
minuman rakyat (es teh) yang segar. Mantaph ! nian rasa nya. Tak lama
setelah selesai makan, hmmm tamparan angin yang melewati wajah kusut ini
membuat mata terasa kantuk. Hingga akhirnya aku terbaring dan tertidur
sesaat. Tak kurang dari 1 jam ku menikmati pemandangan ‘bahari’ di kota
Tegal.
Sekitar pukul 13.34 WIB kulanjutkan kembali
perjalanan. Dengan hati ‘lepas’ dan rasa penat yang mulai mereda,
perjalanan pun terasa berbeda. Ku tunggangi motor merah buntut ber
Inisial “V” yang ku dapat saat kelas XI SMA ini dengan lebih hati-hati.
Mengingat perjalanan tinggal hitungan ratusan menit.
“Pemalang Ikhlas”
“Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”… ucap ku dalam hati.
Puji syukur ku panjatkan kehadirat-Nya yang telah memberikan nikmat tak
terhingga. Hingga sampai detik ini aku masih diberi kesempatan hidup dan
dapat menghirup udara segar. “Pemalang Ikhlas”, itu yang teringat
pertama kali saat melihat papan sambutan ini. “Tegal Kota Bahari” –
mungkin benar apa yang di katakan oleh ‘Pemalang Ikhlas’, bahwasanya
anak remaja 21 tahun itu harus benar-benar ikhlas melepaskan kenangan di
‘Kota Bahari’ nya.
“Pekalongan Kota Santri”
Inilah saat yang di tunggu-tunggu dalam beberapa jam yang lalu. Masih
teringat saat hendak bangun, rasanya begitu malas dan sungkan. Padahal
waktu sudah menunjukkan pukul 04.40 WIB dan sudah menandakan waktunya
sholat subuh. Rasa enggan begitu menyelimuti. Namun akhirnya aku
berhasil memenangkan pertarungan itu tepat pukul 04.56 WIB. Sebuah angka
yang fantastis memang. Yaph ! aku terbangun, bergegas mandi, dan segera
menunaikan ibadah sholat subuh. Tak lupa, setelah itu saya mengecek
kembali barang-barang yang telah di persiapkan sebelumnya di malam hari.
Selesai mengecek dan membersihkan kamar, saya bergegas menuju ke rumah
ibunda. Tak lupa berpamitan dengan ibu dan bapak kos. Jarak antara
tempat kos saya dengan rumah bunda tidak terlalu jauh, mungkin cuma
sekitar 15 menit perjalanan naik motor bila tidak macet. Akhirnya saya
tiba di tempat bunda sekitar pukul 05.36 WIB. Menunggu bunda membelikan
nasi untuk sarapan…. Hahhh…. tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul
05.55. Sudah hampir jam 6 pagi, akhirnya ibu pun datang membawa
sebungkus nasi dengan ‘cinta’ nya. Yaph ! rasa cinta, kasih, serta
perhatiannya lah yang lebih penting. Selesai sarapan pagi, wah….ternyata
gelap awan sudah mulai di sinari oleh bintang besar yang menampakkan
dirinya dari ufuk timur. Pagi sudah mulai terang. Aku berbegas dan mulai
berpamitan dengan bunda. Perjalanan di mulai sekitar pukul 6 pagi.
******
Akhirnya sampai juga di kota kelahiran tercinta – Pekalongan.
Pekalongan merupakan sebuah kota kecil yang terletak di daerah Jawa
Tengah. Tepat nya di tengah perjalanan Jakarta-Semarang, di antara kota
Pemalang dan Batang. Pekalongan memiliki beberapa julukan, antara lain
‘kota batik’, ‘kota santri’ dan ‘kota megono’. Dinamakan kota batik,
karena daerah Pekalongan memang sebagian besar warga nya berkecimpung
dalam usaha industri rumah tangga seperti konveksi, yang menjahit
beragam jenis kain sarung, pakaian muslim/muslimah dan masih banyak lagi
dengan motif batik. Kota santri adalah julukan kota Pekalongan yang
sebenarnya. Kota santri memiliki arti – ‘Santun, Aman, Nyaman, Tentram,
Rapi, Indah’. Sedangkan kota megono hanyalah julukan ‘kedua’ dari kota
ini. Megono adalah nama makanan yang terbuat dari buah ‘cecek’ yang di
potong-potong menjadi kecil hingga lembut. Biasanya kebanyakan warga
Pekalongan menyantap nasi megono untuk sarapan di pagi hari. Nasi megono
akan terasa lebih lezit bila di temani dengan sambal, tempe goreng dan
krupuk. Terdengar sederhana memang. Namun jujur saja, kenikmatannya
tiada tara bila dibandingkan dengan sushi atau makanan-makanan ‘aneh’
yang sering ku jumpai di sekitar tempat kos. Hmmm….kangen juga sudah
hampir 2 tahun gak makan nasi megono sambel.. J
********
Sekali lagi ku ucap syukur “Alhamdulillah.” Setelah 9 jam
berjuang dalam perjalanan menaiki motor ‘lawas’ yang ku dapat saat kelas
2 SMA, menahan rasa kantuk, pegal, lelah, penat akhirnya sampai juga di
tempat yang kurindukan – kampung halaman tepat pada pukul 15.12 WIB.
Perjuangan masih tetap harus ku bela selama 2-3 tahun ke depan.
Merantau, menuntut ilmu guna menjadi insan manusia yang berguna. Meski
di tengah hiruk-pikuk nya kota Jakarta yang terkenal lebih kejam
daripada ibu tiri. Insya Allah bila masih di beri kesempatan, saya akan
menceritakan perihal mengenai ibu tiri saya.
“Tak ada kata yang lebih indah daripada syukur
Tak hal yang lebih hangat daripada kebersamaan
Kebersamaan dan syukur akan membawakan ‘kehidupan’
Namun ‘kehidupan’, tak selamanya akan membawakan syukur dan kebersamaan”
Thursday, 13 February 2014
Home »
Spesial Valentine
» Cerita Nyata Di Hari Valentine
Cerita Nyata Di Hari Valentine
Eko Sutrisno | Thursday, 13 February 2014
No comments:
Post a Comment